Albertina dikenal sebagai hakim yang paling susah dimintai bocoran. Sebab, dia benar-benar merahasiakan putusan. Bahkan, dia rela sampai harus mengetik sendiri setiap putusan. Itu dilakukan agar pertimbangan majelis hakim tidak bocor karena panitera bersekongkol dengan mafia perkara.
Lantas, mengapa dia dimutasi? "Saya tak pernah mempermasalahkan mutasi. Kita ini kan hanya prajurit, harus nurut," katanya saat ditemui di sela-sela agenda sidang di PN Jakarta Selatan pekan lalu.
Albertina memang enggan berpolemik terkait dengan mutasi yang harus dijalani. Dia percaya bahwa semua keputusan MA adalah yang terbaik bagi organisasi. Yang dia pikirkan hanya sejumlah tanggungan kasus yang mesti diselesaikan sebelum bertugas sebagai wakil ketua Pengadilan Negeri Sungailiat, Bangka Belitung.
Kasus-kasus itu, antara lain, pelecehan seksual dengan terdakwa Anand Khrisna, kasus penggelapan dengan terdakwa Daniel Sinambella, dan kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan terdakwa jaksa Cirus Sinaga. Albertina sangat berharap bisa menangani kasus tersebut sampai putusan. "Tapi, kalau diganti di tengah sidang, itu terserah ketua pengadilan," katanya.
Sehari-hari, perempuan yang masih melajang tersebut tinggal di rumah dinas di Perumahan Hakim, Gang Sri Sulastri, Jalan Ampera. Tak sampai 5 kilometer ke arah selatan dari pengadilan tempat dirinya bertugas. Karena jarak yang sangat dekat itu, hakim kelahiran Maluku Tenggara tersebut sangat jarang naik mobil pribadi saat berangkat tugas. Dia lebih suka naik angkot. Kadang-kadang, beberapa orang melihatnya berjalan kaki.
Tapi, tidak berarti Albertina tak memiliki mobil pribadi. Para pencari keadilan di PN Jakarta Selatan sudah mafhum bahwa mobil Nissan Livina yang diparkir di halaman pengadilan adalah milik perempuan 51 tahun tersebut. Mobil silver itu biasanya diparkir di halaman depan kantor pengadilan dan diapit dua traffic cone.
Rutinitas pengadil itu juga sangat simpel. Tiap akhir pekan, dia lebih suka pulang kampung ke Jogjakarta. Jumat sore, biasanya dia sudah dijemput agar bisa terbang atau naik kereta ke Jogjakarta. Tujuannya, Sabtu pagi, dia sudah beraktivitas di rumah.
Karena itu, begitu dipindah ke Kota Sungailiat, Albertina sejatinya kurang sreg. Bukan karena apa-apa, rute perjalanannya ke Kota Gudeg itu menjadi tidak simpel. Malahan cenderung ruwet. Sebab, dia harus ke Jakarta dulu untuk bisa naik kereta atau pesawat terbang ke Jogjakarta.
"Kalau pulang ke Jogjakarta, saya harus ke Jakarta dulu, baru melanjutkan ke Jogja. Biaya pulang akan relatif lebih mahal. Kalau hanya dari Jakarta kan beda, langsung saja naik kereta atau pesawat," ujarnya enteng.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 1985 tersebut berusaha berbesar hati atas mutasi yang harus dijalani. Dia justru beranggapan bahwa kepindahan ke Sungailiat itu merupakan blessing in disguise alias berkah yang tersembunyi. Sebab, dia justru dijauhkan dari jangkauan para mafia perkara. Hal itu membuat integritasnya sebagai hakim tetap terpelihara.
Berarti, di PN Jakarta Selatan banyak godaan duit" "Anda ini, sudah tahu tanya. Saya pikir teman-teman wartawan itu lebih tahu daripada saya," katanya lantas terkekeh.
Berapa biasanya tawaran duit untuk setiap kasus" "Pasti besar lah. Namanya juga Jakarta, pusat bisnis. Hidup di Jakarta itu biaya hidup tinggi," imbuhnya.
Tapi, tidak berarti di Sungailiat tak ada mafia perkara. Namun, Albertina bersyukur karena interaksi dirinya dengan kasus-kasus korupsi yang rentan dengan mafia perkara akan semakin jarang. Sebab, di Provinsi Bangka Belitung tidak ada pengadilan khusus korupsi.
Bolak-balik dipindah tugas, Albertina menganggap biasa. Sebelum di PN Jakarta Selatan, dia pernah bertugas di PN Temanggung, Jawa Tengah (1996"2002), dan PN Cilacap, Jawa Tengah (2002"2005). Pada 2005"2009, dia bertugas ke Jakarta sebagai asisten koordinator MA merangkap sekretaris wakil ketua MA bidang yudisial.
"Jadi hakim di mana saja itu sama. Nggak ada bedanya. Ya, yang beda paling cuma apakah ruang sidangnya ada AC (air conditioning, Red) atau tidak. Panas atau dingin suasananya," ungkapnya lantas tersenyum.
Bukan tanpa sebab Albertina menjadi pribadi yang bersahaja. Sejak kecil, dia harus hidup mandiri, jauh dari orang tua, dengan pindah dari Dobo, Maluku Tenggara, ke Kota Ambon. Tujuannya, dirinya tetap bisa bersekolah.
Di Ambon, Albertina tinggal di rumah saudaranya. Setiap selesai sekolah, dia menjaga warung kelontong milik saudaranya di pasar Ambon. Dia bahkan sempat menjadi pelayan warung kopi untuk membiayai hidup dan sekolah.
Kendati lahir di Ambon, Albertina belum pernah bertugas di tanah kelahirannya. Dia justru lebih banyak ditugaskan di Jawa Tengah. Lulusan magister hukum dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, itu sudah kenyang pengalaman bersidang di tengah konflik reformasi. Yakni, saat menyidangkan kasus-kasus pembunuhan orang-orang yang dianggap dukun santet.
Albertina mengakui, saat itu situasi memburuk. Apalagi, sebagai hakim, banyak ancaman dan teror. Namun, dia tetap berfokus menyidangkan orang-orang yang secara sah dan meyakinkan menghilangkan nyawa orang lain. Albertina sama sekali tak gentar meski diancam disantet. "Saya percaya kepada Tuhan karena saya tidak punya kekuatan apa-apa. Satu-satunya cara saya pasrah. Saya harus percaya pada pertolongan Tuhan," ujarnya.
Dia memahami, mutasi dirinya memantik reaksi di masyarakat. Bahkan, sejumlah orang membuat dukungan di jejaring sosial Twitter dan Facebook untuk menolak kebijakan tersebut. Albertina mengaku terharu. Tapi, bagaimanapun, itu adalah tugas yang harus dia jalani.
"Masyarakat punya hak untuk menilai dan berkomentar. Bagi saya, semua komentar dan kritik tersebut saya terima dengan senang hati karena itu masukan. Kalau ada yang menyayangkan itu, saya terima kasih. Berarti, masih ada yang simpati kepada saya," katanya. "Tapi, tidak berarti saya tidak senang atau kecewa lho ya," imbuhnya mewanti-wanti. (c5/nw/JPNN)