ShareSejak pagi-pagi sekali seperti yang terlihat di halaman Kantor Kecamatan mendobarat, salah seorang penjaganya terlihat membawa bendera merah putih dan ia dengan cepat pula mendekat ke arah tiang, langsung saja satu demi satu tali bendera itu diikat dan ditarik setengah tiang.
Apa yang dilakukan penjaga kantor kecamatan tersebut, tentu saja juga dilakukan secara serentak di seluruh pelosok negeri ini, mengibarkan bendera setengah tiang.
Karena tanggal 30 September adalah merupakan tanggal berduka cita bagi bangsa ini, karena setiap tahunnya tanggal ini akan kembali mengingatkan pada sejarah bangsa terhadap masuknya G30S/PKI (Gerakan Partai Komunis Indonesia) sekitar tahun 1965.
Gerakan G30S/PKI, telah menjadi peristiwa sejarah yang bila mengingat ke masanya, tentu sangat memilukan dan bahkan mungkin mampu untuk kembali menyayat hati ibunda pertiwi.
G30S/PKI sangat tersohor dengan kebengisan dan begitu sangat senang membuat rakyat hidup sengsara, bahkan perbuatan G30S/PKI ini konon disebut-sebut juga telah mengalahkan masa penjajahan belanda, bila dinilai dari tabiatnya.
Apa yang pernah dilakukan GS/30 PKI ini khususnya yang ada di Pulau Bangka ini, hingga kini masih membekas dalam ingatan 2 orang tua di Desa Petaling, dua orang tersebut adalah guru Abu Bakar (79) dan H Ismail(80).
Apa yang pernah disaksikan dengan mata telanjang oleh kedua orang tua Desa Petaling ini, sebagaimana yang juga disampaikan keduanya ketika ditemui Radar Sungailiat ini di rumahnya masing-masing secara terpisah, Jumat (30/9).
Ternyata 2 orang sesepuh Desa Petaling ini, memiliki versi pengalaman yang berbeda tentang PKI, meskipun pada intinya kedua tokoh ini memang mengakui bahwa PKI telah begitu banyak membawa kesengsaraan kepada rakyat Indonesia tak terkecuali di pulau Bangka seperti halnya Desa petaling sekitar tahun 1965 kala itu.
Guru Abu Bakar Moeng mengaku sudah sejak tahun 1950 menjadi guru dengan berpindah-pindah tempat, seperti di Pangkalpinang ia pernah mengajar selama 9 tahun, pindah ke Petaling selama 10 tahun, di Muntok Bangka Barat selama beberapa tahun sebelumnya akhirnya pulang kandang mengajar di Petaling hingga sampai masa pensiun pada Juli tahun 1988 silam.
Guru Bakar meskipun usianya kini telah senja dan sering sakit-sakitan pula, hanya tinggal berdua di rumahnya bersama sang istri kedua, karena istri pertama telah lama meninggalkannya dengan menitipkan 6 orang anak hingga sekarang.
Namun di tengah kondisi itu, seorang Guru Abu Bakar Moeng masih berusaha untuk dapat menceritakan pengalaman dan apa yang pernah ia saksikan terhadap G30S/PKI yang masuk ke Petaling kala itu.
Menurut Guru Abu Bakar Moeng pada tahun 1965 tersebut PKI berusaha mati-matian dengan segala tipu muslihatnya untuk mempengaruhi rakyat Petaling kala itu, tujuannya tidak lain selain dari menginginkan seluruh rakyat menjadi pengikut mereka (PKI).
Tipu muslihat PKI tersebut salah satunya adalah dengan cara mendirikan berbagai organisasi yang berkedok menampung aspirasi serta kepentingan rakyat khususnya kaum Petani di Petaling waktu itu, organisasi-organisasi tipu muslihat PKI tersebut seperti BTI (Barisan Tani Indonesia) Partindo, dan lain sebagainya.
Untuk mengecoh perhatian rakyat waktu itu, aliran komunis ini berusaha keras mengajak rakyat untuk bergabung di BTI dan Partindo dengan iming-iming para petani akan diberikan pupuk gratis, beserta alat-alat pertanian seperti canngkul, sabit dan sejenisnya.
Alhasil upaya BTI, Partindo yang tak lain adalah penyamaran PKI, memang banyak disambut antsuias oleh masyarakt, sehingga banyak para guru, petani yang bergiliran mendaftarkan diri sebagai anggota BTI dan Partindo, tapi apa yang terjadi setelah masuk menjadi anggota banyak para guru dan petani bukannya memperoleh pupuk gratis, tapi malah sebaliknya menjadi pupuk bagi PKI, banyak guru seperti kepala sekolah yang diturunkan pangkatnya bahkan sampai hingga ada yang di pecat.
”Seingat saya waktu itu di Mendobarat ini paling parah terjadi di Cengkongabang. PKI paling benci dengan yang namanya musyawarah, rakyat terkukung dengan ancaman-ancaman, bahkan untuk bisa bersedahkan saja. Rakyat kala itu harus lebih dulu membuat surat izin. Pada intinya meskipun di Petaling ini PKI tidak melakukan hal-hal sadis seperti membunuh, namun kehadiran PKI kala itu benar-benar membawa kesengsaraan yang luar biasa, segala perekonomian masyarakat dilumpuhkan, beras dan kebutuhan pokok lainnya tidak dipernankan masuk dan sampai ketangan rakyat, selain itu bukan tidak sedikit pula ulah PKI, rakyat yang di jebloskan kedalam sel dan di asingkan ke Palembang .Apapun yang dikerjakan oleh rakyat kalai itu, tak pernah luput dari pengkoordiniran PKI," katanya.
"Saya sendiri beserta keluarga sangat bersyukur waktu itu karena kami tidak sampai masuk ke organisasi apapun yang tak lain adalah bangunan PKI, kami tidak terpengaruh, saya keukeuh tidak percaya karena itu taktik busuk PKI kala itu, hingga akhirnya setelah PKI angkat kaki dari tanah Bangka ini, mulai tahun 1972 saya sebagai seorang guru juga berusaha berjuang sama-sama untuk kembali mengangkat nasib para guru, dan akhirnya pula rakyat kami disini kembali membangun hidup mereka dan kembali berjalan normal," lanjutnya.
Kita semua mungkin sampai kini masih menjadi bagian dari masyaratkat Indonesia yang masih controversial dengan siapa sebenarnya dalang dari keluarnya surat perintah II Maret atau yang biasa disebut Supersemar?
Dia, pada masanya kini, dulu sebagi guru, pernah menjadi kepala sekolah, pengawas pendidikan dan lainnya, hanya ingin mengingatkan kepada kaum generasi muda untuk selalu mengisi hidup dengan ilmu, jalannya adalah dengan sekolah, bergaul lah dengan orang yang memiliki pemahaman lebih baik tentang agama , jangan pernah meninggalkan dasar-dasar agama, serta jangan pula mudah terpancing dengan janji-janji manisnya partai Politik.
Pengalaman tentang G30S/PKI juga dirasakan oleh H Ismail, ia juga merupakan sahabat dari Abu Bakar Moeng, bahkan juga pernah satu bangku, ketika masih bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) jaman dulu.
Sayang dihari senjanya kini H Ismali sudah tidak lagi memiliki pendengaran yang baik, jika tak bersuara kuat dari lawan bicaranya ia tak mampu lagi mendengarnya, konon karena ia sering sakita-sakitan dan mengkonsumsi obat terllau berlebihan, ingatannya pun sudah mulai jauh berkurang, baru-baru ini ia baru habis melakukan operasi, ia divonis oleh dokter mengidap penyakit Pengapuran tulang, maka dari kini ia pun sudah tak kuat lagi berjalan seperti dulu.
H Ismail memiliki 9 orang anak dan kini ia tinggal satu atap dengan istri keduanya, karena istri pertama juga telah lama kembali ke Ilahi.
Meskipun telah renta, tapi seorang H Ismail sampai sekarang masih bisa bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jepang, ia pun mengajarkan teknik belajar bahasa Jepang.
Meskipun hanya mampu mendengar secara samar-samar, H.Ismail pun tetap berusaha seraya mennceritakan pengalamannya tentang PKI.
Menurut dia, ketika pada sekitar 1965, ia memang hanya seorang petani biasa, akan tetapi sekaligus juga merupakan seorang pedagang. Bagi H Ismail PKI tetaplah kaum komunis yang jahat dan kejam meskipun tidak melakukan hal-hal sadis khususnya di Pulau Bangka termasuk Petaling.
Seingat ia, ia juga merupakan orang yang termasuk pernah dipanggil oleh PKI atau kalau dulu di kenal dengan Team Screaning, rupanya PKI adalah kaum yang sangat tidak suka dengan para pedagang, karena bagi PKI pedagang adalah merupakan kaum kapitalis.
PKI terus berusaha untuk menutup semua jalur ekonomi masyarakat kala itu. Sayang kala itu H.Ismail dan sejumlah kawan-kawannya yang notabenenya adalah petani, akhirnya terperangkap juga dalam jebakan PKI yakni ikut bergabung di dalam organisasi Partindo.
”Setelah masuk Partindo dengan iming-imingnya, ternyata apa yang dijanjikan tersebut memang hanya muslihat belaka, tapi untunglah keadaan ini tidak berlangsung lama, hingga akhirnya rakyat Petaling kembali hidup normal. Orang-orang Petaling yang tertangkap sebagai pengikut PKI akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan dibuang di Palembang. Seingat saya banyak, tapi saya sudah lupa nama-namanya, dan Wallahualam, apakah mereka-mereka juga masih hidup seperti saya sampai sekarang atau sudah meninggal, saya tidak tau, tapi yang pasti waktu itu ada yang dibuang ke Palembang," ingatnya.
Kini masa telah berganti, dan kita semua tidak ingin pengalaman kami yang sudah tua ini terjadi lagi dan menimpa bangsa ini kembali.
"Tapi saya selaku orang tua yang memang hanya tinggal menunnggu waktu saja ini, hanya ingin menitipka pesan untuk anak dan cucu di negeri ini. Selalu lah mengutamakan kejujuran, rajin dan juga yakin, ketiga-tiganya harus seiring sejalan jangan sampai bercerai. Karena dengan 3 dasar ini, InsyaAllah kita akan selamat dunia dan akherat," pesannya. (*)